The Sin Nio: Perempuan Tionghoa yang Menyamar Jadi Pria untuk Kemerdekaan Indonesia, Kian Terlupakan
Kisah The Sin Nio, perempuan Tionghoa yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan penyamarannya, hingga terlupakan dan wafat tanpa diketahui.
Di balik gegap gempita perjuangan kemerdekaan Indonesia, terselip kisah heroik seorang perempuan Tionghoa bernama The Sin Nio, sosok yang nyaris hilang dari catatan sejarah. Dia rela berperang dan di garda terdepan untuk memperjuangkan kemerdekaan yang meskipun dia mendapatkan perlakuan diskriminasi ras dan patriarki.
Sebagaimana yang dilansir Infogarut melalui Tirto,ia menjadi satu-satunya perempuan di Kompi 1 Batalyon 4, Resimen 18 Wonosobo di bawah pimpinan Soekarno (prajurit yang kelak menjadi Brigjen dan Dubes RI untuk Aljazair). Untuk menghindari kecurigaan dan bisa diterima, ia mengganti identitas menjadi Mochamad Moeksin, nama yang bernuansa Islam dan lebih mudah diterima di masyarakat.
Baca Juga: Suparma Sastra Direja: Tokoh PKI Garut dalam Pengasingan Belanda
Pertempuran The Sin Nio yang Tak Diakui Negara
Identitas aslinya ditutupi dengan sangat hati-hati. Rambut dipotong pendek, dada dililit kain panjang, dan suaranya disamarkan agar terdengar seperti laki-laki.
Pada mulanya, dia hanya sebagai petugas logistik saja, kemudian ia mulai turun tangan berperang dengan menggunakan senjata seadanya seperti bambu runcing, parang, dan tombak. Ia akhirnya mendapatkan senapan Lee-Enfield dari tentara Belanda yang berhasil dikalahkannya.
Dalam masa perjuangannya, Sin Nio juga sempat ditugaskan sebagai tenaga medis karena kurangnya perawat di garis depan. Di situ, ia merawat rekan-rekannya yang terluka, menunjukkan dedikasi tanpa pamrih untuk kemerdekaan.
Pasca-kemerdekaan, Sin Nio menjalani kehidupan yang sulit. Ia bercerai dua kali, membesarkan enam anak seorang diri, dan merantau ke Jakarta demi memperjuangkan haknya sebagai veteran.
Pada akhirnya, dia tidak mendapatkan tunjangan pensiun, meskipun sudah mendapatkan Surat Keputusan Pejuang Aktif yang didapatkannya dari Mahkamah Militer Yogyakarta pada tahun 1976. Ia harus terus memperjuangkannya hingga akhirnya pada tahun 1981, sebuah SK kedua keluar. Namun nominal pensiunnya hanya sebesar Rp28.000 per bulan,jauh dari cukup untuk menopang hidup, terlebih untuk menafkahi keluarganya.
Baca Juga: Gerakan Antipajak dan Aksi Perlawanan Revolusioner
Akhir Kehidupan The Sin Nio
Di ibu kota, The Sin Nio hidup berpindah-pindah: pernah tidur di Masjid Petojo, tinggal di bantaran rel Stasiun Juanda, hingga menumpang di masjid dekat Masjid Istiqlal. Meskipun miskin dan terlupakan, ia tetap mengirim uang ke kampung untuk anak-cucunya.
Menjelang akhir hayat, ia menolak kembali ke Wonosobo. Dalam kesendiriannya ia berkata:
“Aku tidak mau merepotkan bangsku. Biarlah aku hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan sepertiku,” tuturnya jelas.
The Sin Nio meninggal pada tahun 1985 di tengah kesengsaraan yang dialaminya, tepat di usianya ke-70 tahun. Ia dimakamkan di TPU Layur Rawamangun, Jakarta, namun kini makamnya tak bisa ditemukan lagi. Tak ada batu nisan, hanya kenangan samar yang nyaris terkubur bersama sejarah yang abai.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.