Mengenal Sosok Yus Rusyana: Seorang Budayawan, Sastrawan Sekaligus Guru Besar Bahasa Sunda
Yus Rusyana menjadi sosok sastrawan sekaligus budayawan asli dari Garut yang kini turut menjadi seorang tenaga pendidik di universitas ternama.
Seorang tokoh budayawan sekaligus sastrawan yang asli dari Garut, Yus Rusyana lahir pada 24 Maret 1938 ini berasal dari Pameungpeuk. Pendidikan yang ditempuhnya mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi, menandakan bahwa dia merupakan seorang yang sangat kaya akan intelektual.
Sekolah Rakyat Negeri Pameungpeuk pada tahun 1946-1952 berhasil dilewatinya. Ia kemudian belajar di Sekolah Guru B Negeri 1 Garut pada tahun 1952-1955. Disambungkan ke Sekolah Guru A Negeri 1 Bandung pada tahun 1055-1958.
Tidak berhenti di sana, ia kemudian menempuh pendidikan Sarjana di FKSS IKIP Bandung dengan mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda pada tahun 1958-1964. Pendidikan Post Graduate Training ia ambil di Belanda, pada 1971-1973 di Universitas Leiden. Dilanjutkan meraih gelar doktor pada bidang Morfologi Bahasa di Universitas Indonesia pada tahun 1975.
Pada 28 April 1965, ia menikah dengan Ami Raksanagara, sesama penggiat sastra. Pernikahan tersebut diberkati dengan lima putra: Galih Rakasiwi, Kalih Raksasewu, Kalis Ragamulu, Kalif Ragapale (alm.), dan Galis Ragsunu.
Semangat dalam menempuh pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga mengantarkan dirinya pada karir yang ditekuninya hingga saat ini, bermula menjadi dosen di IKIP Bandung yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sejak tahun 1962. Masa pengabdiannya yang panjang, sehingga dapat ditunjuk menjadi Guru Besar di kampus tersebut sejak tahun 1988 lalu.
Baca Juga: Jejak Oejeng Suwargana: Sastrawan Sunda dengan Nama Pena Tionghoa
Ia menjabat Dekan FKSS pada periode akhir 1970-an dan menjadi dosen tamu (dosen terbang) di beberapa perguruan tinggi, termasuk Pascasarjana Universitas Suryakancana, Cianjur.
Bukan hanya berfokus dalam ranah akademis saja, ia juga aktif di berbagai organisasi. Menjabat sebagai anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS) pada tahun 1994–2000 dan juga sebagai Ketua Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) pada tahun 1975–1981. Lebihnya lagi, ia ditunjuk menjadi anggota Dewan Redaksi majalah Wangsit, Mangle, dan Lingua.
Karya Sastra, Penelitian, dan Penghargaannya
Sebagai seorang sastrawan yang sangat produktif, ia sudah menghasilkan banyak karya dengan genre yang sangat beragam, seperti cerpen Sunda dengan judu; Di Luhureun Jukut Remis yang dipublikasi pada tahun 1965 dan Jajaten Ninggang Papasten pada tahun 1988. Ada juga drama dengan judul Hutbah Munggaran di Pajajaran (1965), Cahaya Maratan Waja (1964), serta Di Karaton Najasii (1966).
Bukan hanya karya sastranya saja, ia juga memiliki beberapa karya dalam bentuk penelitian akademis, berjudul Tuturan tentang Pencak Silat dalam Tradisi Lisan Sunda yang dipublikasikan oleh Yayasan Obor Indonesia dan Asosiasiasi Tradisi Lisan pada tahun 1996.
Baca Juga: 5 Jejak Ulama Jawa Barat Sebagai Bentuk Kontribusi Islam dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia
Buku akademis lainnya, antara lain:
1. Bagbagan Puisi Mantra Sunda tahun 1979
2. Cerita Rakyat Daerah jawa Barat tahun 1990
3. Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia pada tahun 1983
4. Pengajaran Bahasa-Bahasa Nusantara tahun 1999
5. Peta Konsep Kesastraan: Sastra Indonesia tahun 2003
6. Ensiklopedi Sastra Sunda tahun 1997
7. Prosa Tradisional tahun 2000
Karya-karyanya yang sangat berharga itu pun turut disimpan dengan baik di Australian National University dan SOAS University of London (Inggris).
Yus Rusyana dikenal menanamkan filosofi hidup “Selamat, Bermanfaat, dan Nikmat” menjadi sebuah prinsip yang ia sebarkan kepada mahasiswa, mencerminkan kewaspadaan, kontribusi kepada lingkungan, dan kerendahan hati kepada Sang Pencipta.
Pada tahun 1989, ia menerima Penghargaan Sastra Rancagé pertamanya untuk buku Jajaten Ninggang Papasten.
Pada 7 November 2024, dalam acara "Bulan Bahasa" di Universitas Suryakancana, Cianjur, Prof. Yus Rusyana memberikan panduan penulisan puisi. Ia juga membacakan sajak berbahasa Sunda berjudul Sarébu Bulan, yang mencerminkan makna introspektif kehidupan manusia dan refleksi relasi manusia dengan alam serta kesendirian.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.