Beranda Grave of the Fireflies, Film Tentang Potret Penderitaan Masa Perang di Jepang dan Kontroversi HIstorisnya
ADVERTISEMENT

Grave of the Fireflies, Film Tentang Potret Penderitaan Masa Perang di Jepang dan Kontroversi HIstorisnya

5 jam yang lalu - waktu baca 4 menit
Grave of the Fireflies, Film Tentang Potret Penderitaan Masa Perang di Jepang dan Kontroversi HIstorisnya. (Source: Instagram/@cinepolisid)

Film kartun Jepang berjudul Grave of the Fireflies, menjadi sorotan sepanjang masa dengan karya seni yang memiliki nilai, meskipun menjadi kontroversi karena sejarahnya.

Pada 21 September 1945, seorang remaja bernama Seita menghembuskan napas terakhirnya di sebuah stasiun di Kobe, Jepang. Dalam kondisi kelaparan dan kelelahan, ia meninggal sambil memeluk kaleng permen yang berisi abu adiknya, Setsuko, yang baru berusia empat tahun. 

Scene itu menjadi pembuka film Grave of the Fireflies yang mampu membawa penonton untuk masuk ke dalam kisah yang sangat tragis, antara kakak dan adik yatim piatu, di tengah terjadinya Perang Dunia II. 

Film yang dirilis oleh Studio Ghibli pada 1988 ini diadaptasi dari novel semi-autobiografi karya Nosaka Akiyuki, yang pertama kali terbit pada 1967 dan meraih Penghargaan Naoki. Karya ini tidak hanya menggugah secara emosional, tetapi juga menjadi simbol peringatan tahunan atas akhir Perang Dunia II di Jepang. 

Setiap 15 Agustus, film ini kerap diputar di televisi nasional dan digunakan para guru untuk mengajarkan pentingnya perdamaian kepada generasi muda. Film perang yang berasal dari Jepan ini mendapatkan pujian sebagai karya seni yang persuasif, sangat menyentuh. 

Namun, film Gave of the Fireflies ini menjadi sangat kontroversi juga, karena nilai sejarahnya. Banyak yang memujinya sebagai karya seni anti-perang yang mendalam, tetapi tak sedikit pula yang menilai film ini memiliki bias naratif, terutama dalam menggambarkan Jepang sebagai korban semata.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Film tentang Kemerdekaan Indonesia, Cocok Buat Nonton Bareng se kampung!

Membangun Narasi Korban dalam Ingatan Pasca-Perang

Sebagaimana ditulis oleh Masako Racel dalam situs Asian Studies, film ini merupakan bagian dari gelombang karya pasca-perang (era Sengo) yang bertujuan menjaga ingatan kolektif tentang penderitaan rakyat Jepang pada tahun 1945. 

Fokusnya adalah penderitaan sipil akibat serangan udara, bom atom, dan kelaparan. Gerakan ini lahir dari trauma nasional dan semangat pasifisme yang muncul setelah kekalahan Jepang.

Film ini membangun narasi yang menggambarkan warga sipil menjadi korban utama dalam peperangan itu, bukan pemerintah maupun militer. Ada pula film yang seirama dengan film ini, seperti film dari Nakazaya Keiji, berjudul Hadashi no Gen, bercerita tentang seorang anak yang selamat dari tragedi Hiroshima. 

Nosaka sendiri mengakui bahwa kisah Seita dan Setsuko adalah refleksi dari rasa bersalah pribadinya atas kematian adik kandungnya. Ia bahkan menyebut karyanya sebagai bentuk kebohongan karena merasa tak layak disamakan dengan Seita, yang dalam film digambarkan penuh kasih terhadap adiknya. Pengakuan ini menegaskan bahwa film tersebut bukan hanya karya fiksi, melainkan juga bentuk ekspresi luka batin seorang penyintas perang.

Baca Juga: Film Merah Putih: One For All Tuai Kritik: Anggaran Besar, Hasil Tak Memuaskan

Respons Internasional dan Kritik Historis

Saat diputar di luar Jepang, termasuk di kelas-kelas sekolah di Amerika Serikat, film ini memicu reaksi beragam. Sebagian penonton merasa tersentuh, namun sebagian lain mempertanyakan narasi yang hanya menampilkan Jepang sebagai korban. 

Banyak yang menilai film ini mengabaikan fakta bahwa Jepang adalah agresor dalam Perang Dunia II yang memicu konflik dengan serangan terhadap Pearl Harbor, serta kekejaman terhadap warga sipil di berbagai negara Asia.

Kritik serupa juga datang dari negara-negara yang pernah dijajah Jepang. Peristiwa seperti Pembantaian Nanjing, eksploitasi banyaknya wanita penghibur dari Korea, dan eksperimen biologi oleh Unit 731 di Manchuria menjadi bagian dari sejarah kelam yang tidak pernah disentuh oleh film ini.

Sampai saat ini, ketegangan politik masih sangat dapat dirasakan. Ini tampak jelas dari demonstrasi atas kedatangan politisi Jepang di Kuil Yasukuni, juga tempat penghormatan bagi penjahat perang. Film ini memiliki memori yang diingat bersama, namun terkesan kurang seimbang karena hanya menyoroti penderitaan pribadi, tanpa menyinggung luka yang telah dibuatnya bagi negara lain.

Baca Juga: Film Demon Slayer: Infinity Castle, Jadi Rekomendasi Pilihan Buat Warginet yang Suka Anime

Refleksi Anti-Perang atau Pelarian dari Tanggung Jawab?

FIlm Grave of the Fireflies ini merupakan sebuah kritikan terhadap mengkritik budaya militer dan sistem Jepang yang menuntut paksa agar rakyatnya bisa turut berkorban tanpa pamrih dan imbalan apapun. Ia menyoroti bagaimana masyarakat yang individualistis menjadi apatis terhadap penderitaan dua anak kecil, menandai runtuhnya nilai kemanusiaan di masa krisis.

Film ini, meskipun menyentuh dan berhasil menyampaikan pesan anti-perang, tetap memunculkan pertanyaan, bisakah sebuah karya benar-benar netral ketika menyangkut sejarah kelam perang dan tanggung jawab moral sebuah bangsa?

Pada akhirnya, Grave of the Fireflies berhasil menyentuh hati, membangun ingatan tentang penderitaan rakyat Jepang, namun juga menunjukkan bagaimana narasi sejarah bisa terbentuk melalui lensa tertentu dengan fokus pada satu sisi kenyataan, sambil menutup mata terhadap sisi lainnya.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.