Beranda Makna Tanah bagi Masyarakat Agraris Sunda
ADVERTISEMENT

Makna Tanah bagi Masyarakat Agraris Sunda

17 jam yang lalu - waktu baca 2 menit
Makna Tanah bagi Masyarakat Agraris Sunda, Source: nationalgeographic.grid.id

Tanah dalam budaya Sunda dianggap suci dan penuh makna, dijaga lewat mitologi Dewi Sri hingga Warugan Lemah yang mengajarkan harmoni dengan alam. Selengkapnya di sini!

Tanah dianggap suci oleh masyarakat Sunda karena menjadi pusat kehidupan dan kesejahteraan. Pemaknaan ini berakar dari mitologi Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Sri, yang diyakini sebagai simbol rahim bumi dan sumber kesuburan.

Baca juga: Sejarah Perang Bubat: Majapahit Dan Sunda Yang Penuh Tragedi

Mitologi Masyarakat Agraris

Kelahiran Dewi Sri menggambarkan keterikatan manusia dengan tanah dan menjadi pengingat bahwa kesejahteraan hanya hadir jika manusia menjaga kesuburan bumi. Studi berjudul Myths of Nyi Pohaci Sanghyang Sri on Sundanese Ethnic menjelaskan, mitos tersebut membentuk nilai syukur, perlindungan ekosistem, keselarasan hidup, dan etos kerja keras.

Budayawan Riandi Darwis menambahkan bahwa Dewi Sri digambarkan lahir dari tubuh bumi yang terluka, di mana bagian tubuhnya melahirkan sumber pangan. Pandangan ini memperlihatkan bahwa tanah merupakan rahim kehidupan, sementara setiap panen adalah wujud kesetiaan manusia dalam menjaga hubungan dengan bumi.

Warugan Lemah

Dalam tradisi Sunda, tanah juga dibaca melalui naskah kuno Warugan Lemah yang muncul sebelum abad ke-17. Naskah tersebut menyingkap 18 pola pemukiman yang menentukan baik buruknya lahan, dari warna, tekstur, hingga posisi tanah terhadap aliran air dan arah mata angin.

Empat lahan dianggap membawa kebaikan, yaitu Talaga Hangsa, Ngalingga Manik, Singha Purusa, serta Sumara Dadaya. Sebaliknya, ada lahan yang diyakini membawa penderitaan. Filolog Aditia Gunawan menjelaskan bahwa tafsir tersebut bukan sekadar tahayul, melainkan respons logis terhadap kondisi geografis Priangan.

Harmoni di Era Modern

Prinsip yang tercatat dalam Warugan Lemah masih hidup di kampung adat seperti Dukuh, di mana pembagian tanah diatur ketat menjadi tanah titipan, garapan, hingga larangan. Hal tersebut sebagai praktik nyata warisan leluhur dalam menjaga keseimbangan dengan alam.

Namun, modernitas membuat manusia kerap mengabaikan tanda-tanda ekologis. Pesan Warugan Lemah kini terasa relevan di tengah krisis iklim, mengingatkan manusia bahwa keserakahan terhadap lahan justru menjadi awal kerusakan ekosistem yang menopang kehidupan.

Baca juga: Mengenal Sanjaya, Sosok Raja Sunda yang Dirikan Kerajaan Mataram Kuno

Jadi Warginet, tanah bukan hanya sekadar pijakan, melainkan sumber kehidupan yang harus dijaga dengan penuh hormat. Pesan leluhur Sunda dalam Warugan Lemah sebagai pengingat agar kita tidak serakah, melainkan hidup selaras dengan alam demi keberlangsungan masa depan

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.