Swedia dan Definisi Sebenarnya dari “Wakil Rakyat Seharusnya Merakyat”
Ketika berbicara tentang negara maju, banyak yang langsung membayangkan kesejahteraan rakyat, teknologi mutakhir, atau sistem pendidikan yang maju. Namun ada satu hal menarik dari Swedia, salah satu negara dengan standar hidup tertinggi di dunia: Ya, anggota parlemen mereka justru hidup sederhana, bahkan digaji lebih rendah daripada seorang guru.
Menurut laporan Sveriges Riksdag (media Swedia) anggota parlemen di Swedia tidak mendapatkan tunjangan uang, mobil dinas, rumah dinas, apalagi pengawal pribadi. Fasilitas yang diberikan hanyalah akses gratis transportasi umum. Selebihnya, mereka menjalani kehidupan yang tidak berbeda jauh dengan warga kebanyakan.
Baca Juga: Israel Serang Gaza, Kelaparan Paksa Jadi Senjata Perang
Per-Arne Hakansson, salah satu anggota parlemen Swedia, bahkan menegaskan, “Kami ini tak berbeda dengan warga kebanyakan. Tugas utama kami hanya mewakili rakyat. Jadi tak pantas rasanya jika kami harus diistimewakan.” Sikap ini memperlihatkan filosofi politik yang menempatkan rakyat sebagai pusat, bukan jabatan atau kemewahan pribadi.
Lebih jauh lagi, sebelum tahun 1957, anggota parlemen Swedia bahkan tidak digaji negara. Tugas mereka dianggap sebagai pengabdian, sehingga biaya hidup ditanggung dari iuran partai politik. Baru setelah 1957 pemerintah mulai memberi gaji, itupun jumlahnya tidak fantastis. Dalam konteks ini, makna lirik lagu Iwan Fals, “wakil rakyat seharusnya merakyat,” menemukan pembuktiannya.
Baca Juga: Ekonomi RI Tumbuh 5,12% di Kuartal II-2025, Pakar: “Angkanya dari Mana?”
Bandingkan dengan Indonesia. Publik kerap menyoroti betapa besarnya gaji, tunjangan, hingga fasilitas mewah yang diterima wakil rakyat. Dari mobil dinas, rumah jabatan, hingga biaya perjalanan dinas yang tidak jarang menuai kontroversi. Wajar bila rakyat sering merasa ada jarak antara mereka yang dipilih dengan mereka yang memilih.
Padahal, seperti dilaporkan dari media tersebut, masyarakat Swedia punya kesadaran kuat bahwa gaji anggota parlemen bersumber dari pajak rakyat. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk hidup berlebihan. Kesadaran ini kemudian menjadi kontrol sosial agar pejabat tetap rendah hati dan fokus bekerja untuk kepentingan publik.
Pelajaran penting bagi kita adalah bahwa demokrasi bukan sekadar soal prosedur pemilu, tetapi juga menyangkut etos pengabdian. Wakil rakyat sejatinya adalah pelayan rakyat, bukan kelompok yang harus diistimewakan. Menjadi pejabat seharusnya tidak otomatis berarti hidup dalam kemewahan, melainkan kesiapan untuk mendengar, bekerja, dan merasakan kehidupan rakyat kebanyakan.
Jika Swedia bisa membangun peradaban maju dengan parlemen yang sederhana, mengapa Indonesia tidak bisa?
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.