Beranda Penutupan Rumah Doa di Caringin Tuai Kecaman, Alissa Wahid: Bentuk Diskriminasi terhadap Minoritas
ADVERTISEMENT

Penutupan Rumah Doa di Caringin Tuai Kecaman, Alissa Wahid: Bentuk Diskriminasi terhadap Minoritas

1 bulan yang lalu - waktu baca 3 menit
Penutupan Rumah Doa di Caringin Tuai Kecaman, Alissa Wahid: Bentuk Diskriminasi terhadap Minoritas (Ilustrasi: Freepik)

Penutupan paksa sebuah rumah doa umat Kristen di Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, sejak 2 Agustus 2025, menuai kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Jaringan GUSDURian, yang menyebut tindakan pemerintah daerah ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas.

Rumah doa yang disegel oleh Pemerintah Kabupaten Garut itu dinilai tidak memiliki izin resmi. Pihak pemerintah juga mengharuskan pengelola rumah doa untuk mengurus perizinan terlebih dahulu sebelum melanjutkan kembali aktivitas ibadah.

Namun, selain penyegelan, pemerintah daerah juga disebut turut menekan pengelola rumah doa agar menghentikan seluruh kegiatan keagamaan. Bahkan, seorang rohaniwan bernama Dani Natanael beserta anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, dilaporkan diusir dari wilayah Kecamatan Caringin dan kini mengungsi ke Kabupaten Bandung.

Baca Juga: Kemenag Jamin Hak Ibadah dan Kebebasan Beragama di Garut

Alissa Wahid: Negara Gagal Lindungi Kebebasan Beragama

Alissa Wahid2.jpgPerbesar +

Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, menilai tindakan ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warganya.

“Bahkan dalam kasus Garut, negara justru menjadi pelaku utama diskriminasi,” ujar Alissa dalam keterangan tertulisnya pada 14 Agustus 2025.

Putri Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ini juga menyebut bahwa kasus di Garut bukanlah satu-satunya. Ia merujuk pada insiden serupa di Padang, Sumatera Barat, di mana sebuah rumah doa juga dirusak pada akhir Juli 2025.

“Kedua insiden ini menunjukkan bahwa kemerdekaan menjalankan ibadah masih belum dinikmati oleh semua warga negara, bahkan saat Indonesia bersiap merayakan HUT ke-80,” tambahnya.

Proses Penyegelan Dinilai Sarat Tekanan

forkopimcam.jpegPerbesar +

Informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa penyegelan dimulai saat petugas dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat akan melakukan pendataan sebagai bentuk pembinaan, karena Surat Keterangan Tanda Lapor (SKTL) rumah doa akan berakhir pada Februari 2026.

Namun sebelum pendataan berlangsung, petugas KUA bersama Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Caringin justru lebih dulu mendatangi lokasi. Mereka kemudian membawa Dani dan anaknya ke sebuah hotel di Pantai Rancabuaya, yang disebut-sebut untuk menghindari potensi konflik.

Keesokan harinya, Dani dan anaknya dibawa ke kantor desa dan diminta menandatangani surat pernyataan bahwa mereka secara sukarela meninggalkan rumah doa dan tidak lagi melakukan kegiatan ibadah di wilayah tersebut.

Dalam berita acara kesepakatan yang disusun, rumah doa Imanuel dinyatakan ditutup secara permanen. Aktivitas ibadah, pembinaan iman umat Kristen, hingga pembagian sembako juga dilarang.

Pendeta Gereja Beth-El Tabernakel, Yahya Sukma, menyatakan bahwa pelarangan ibadah ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

“Pelarangan ini jelas merupakan pelanggaran HAM,” tegasnya.

Pemerintah Daerah: Penutupan Berdasarkan Masalah Perizinan

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Garut, Nurrodhin, menyatakan bahwa penutupan dilakukan karena rumah doa tersebut belum mengantongi izin resmi.

“Penutupan itu merupakan hasil kesepakatan. Kalau mengikuti aturan, tidak akan ada persoalan. Insyaallah kami fasilitasi,” ujarnya.

Pemerintah daerah juga melakukan pendataan terhadap warga sekitar rumah doa yang sebelumnya menerima bantuan sembako. Isu sempat beredar bahwa sejumlah warga pindah agama, namun setelah dilakukan pengecekan, tidak ditemukan bukti perpindahan keyakinan.

Seruan untuk Evaluasi dan Dialog Antarumat Beragama

Alissa Wahid menyerukan agar pemerintah daerah segera mencabut penyegelan rumah doa tersebut dan menjalankan amanah konstitusi dalam menjamin kebebasan beragama.

Ia juga mendorong para pembuat kebijakan, baik di tingkat lokal maupun nasional, untuk mengevaluasi regulasi-regulasi yang berpotensi mengekang kebebasan beragama.

“Para pemuka agama dan masyarakat harus membuka ruang dialog agar tercipta kerukunan di tengah kemajemukan,” ucap Alissa.

Humas Kementerian Agama Kabupaten Garut, Soni, menyatakan bahwa pihaknya akan mendorong upaya mediasi sebagai langkah penyelesaian, serta mengajak seluruh pihak untuk menahan diri agar tidak memperkeruh suasana.

“Kemenag akan berperan aktif memberikan edukasi terkait moderasi dan kerukunan umat beragama,” ujar Soni.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.